Ibu, tetaplah di rumah
Awal
menikah, saya masih menjadi ibu bekerja di sebuah radio swasta. Jam kerja dari
pagi hingga sore cukup menyita waktu, apalagi sering ada jadwal masuk kerja
pada hari libur. Praktis waktu liburan terpotong untuk menyelesaikan pekerjaan.
Sejak mengandung anak pertama, di usia kehamilan enam bulan, saya memutuskan
untuk berhenti bekerja. Pertimbangan utama, ingin konsentrasi penuh menemani
anak. Tak tega rasanya, jika anak yang didambakan, mesti dititip-asuhkan kepada
orang lain, meskipun itu keluarga besar. Respon teman kerja dan keluarga besar
pun beragam. Rata-rata menyayangkan keputusan saya untuk resign, apalagi radio tersebut masih dalam proses bertumbuh dan
berkembang, hingga sangat dibutuhkan personil-personil yang paham proses dari
awal. Keluarga besar pun mempertanyakan, seberapa siapkah saya menghadapi
kenyataan untuk menjadi full time mother.
Dan pilihan itu sudah saya putuskan. Saya tetap berniat mengabdi sepenuhnya
untuk keluarga, suami dan anak-anak.
Tidak
mudah memang, menyesuaikan diri dengan keadaan yang jauh berbeda, dari terbiasa
bekerja di luar rumah, kemudian harus full
di rumah sepanjang hari. Jenuh, bosan pasti ada. Saya terus berusaha
mengisi hari-hari dengan kegiatan positif yang saya buat sendiri di dalam
rumah. Mulai dari menambah bacaan-bacaan seputar rumah tangga dan pendidikan
anak, hingga menata ulang posisi-posisi perabotan dalam rumah, demi membuat
suasana rumah tetap bersemangat.
Proses
terus berjalan hingga saat ini saya diamanahi dua orang anak, laki-laki dan
perempuan. Peluang dan kesempatan untuk kembali bekerja di luar rumah, terus
datang silih berganti. Sering tergoda untuk mencoba kembali bekerja di luar
rumah, seiring dengan kebutuhan keluarga yang meningkat, teman dan saudara yang
terlihat berkelimpahan materi ketika mereka tetap bekerja, dan
pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan orang-orang sekitar saat terjadi
perbincangan dengan saya. Pikiran-pikiran kembali bekerja itu terus berkecamuk,
dan saya selalu berusaha mengembalikan pada niat awal bahwa saya tetap di rumah
karena keluarga, karena suami dan anak-anak saya. Terutama untuk pendidikan
anak-anak saya.
Ya,
pendidikan anak-anak yang utama, karena pendidikan dasar yang didapat anak-anak
akan menjadi bekal ketika mereka dewasa dan melalui kehidupannya sendiri tanpa
orang tua. Sebagai orang tua, kita tidak selalu ada di dekat mereka, pada
saatnya anak akan menikmati proses kehidupannya sendiri, menjalani kehidupannya
sendiri dengan kaki tangannya sendiri. Peran orang tua adalah fasilitator,
menemani dan mendampingi anak untuk menghadapi dunianya. Pemahaman tentang
pendidikan dasar anak dari rumah ini, semakin kuat ketika saya kemudian bergabung
dengan Institut Ibu Profesional. Pengetahuan-pengetahuan tentang rumah tangga,
peran seorang ibu, dan seputar pendidikan anak semakin kaya sejak saya
mengikuti proses sharing di grup IIP ini.
Pendidikan
anak dari dalam rumah ini, terus menguatkan langkah saya untuk belajar dan
terus belajar. Seiring usia anak yang terus bertambah dan rasa ingin tahu serta
pemahaman-pemahaman terhadap banyak hal pun semakin beragam, menuntut saya
sebagai ibunya, harus bisa terus menyeimbangi. Bukan sebagai ibu yang ahli
segalanya, tetapi ibu yang terus bisa menyeimbangkan pemahaman dengan
anak-anaknya. Jika ibu tahu satu hal yang dimaksud anak, bisa segera berbagi,
akan tetapi jika ibu ternyata sama-sama belum paham sesuatu yang dimaksud anak,
maka ibu dan anak sama-sama terus mencari pemahaman yang tepat, sehingga anak
tetap bahagia meski ibunya bukan ahli segalanya.
Proses-proses
belajar bersama anak ini, menjadi proses uji kompetensi tersendiri bagi saya. Saya
selalu menumbuhkan keinginan untuk terus belajar dan belajar, haus ilmu,
terutama ilmu pendidikan anak dan perkembangannya. Seminar, pelatihan parenting
dan grup-grup yang membahas ilmu pendidikan anak, saya usahakan untuk bisa
mengikuti, dan saya bahagia karena mendapatkan pengetahuan istimewa yang
memperkaya pikir dan hati saya. Saya merasa semakin menjadi ibu yang bermental baja.
Ya, bermental baja. Saat harus ikut seminar atau pelatihan dengan jarak tempuh
yang lumayan jauh, tetap saya jalani dengan dukungan suami dan anak-anak. Saat
mengikuti sharing-sharing, yang menyita waktu, tetap saya nikmati sebagai
proses yang menyenangkan. Pun ketika saat ini, anak laki-laki saya memutuskan
untuk belajar di rumah dengan ibu, saya harus tetap tenang dan bahagia.
Bagaimanapun,
pilihan untuk belajar di rumah ini, meski mulai populer, masih menjadi barang
langka bagi masyarakat awam, apalagi di lingkungan sekitar saya dan beberapa
anggota keluarga besar. Belajar di rumah, untuk beberapa orang adalah barang
baru, tidak biasa dan tidak wajar. Sering juga tatapan aneh bahkan cibiran
menghiasi perbincangan dengan para ibu, jika pembicaraan menyangkut seputar
kelanjutan sekolah dan saya menjelaskan jika anak saya belajar di rumah. Ini
semakin menguji mental saya.
Selain itu,
proses-proses ketika belajar di rumah ini pun mesti diseimbangi dengan ide-ide
kreatif ibu, sehingga belajar tidak monoton. Ibu mesti mencari cara, supaya
anak tetap bahagia saat mereka belajar di rumah. Harus bisa masuk dan menyelami
hati anak, hingga anak menikmati proses belajarnya sepenuh hatinya, tidak
merasa terpaksa dan tertekan. Ketika anak belajar dengan bahagia dalam menggali
fitrah kemanusiaannya, maka anak akan memiliki energi penuh dan bisa memilih
hal-hal yang menjadi semangatnya, jiwanya. Hal ini sangat penting bagi anak,
apalagi ketika nanti mereka semakin bertumbuh dan masuk ke dunia dewasa.
Berharap di usia dewasanya nanti, anak menjadi pribadi yang tangguh, mandiri,
tetap berakhlak mulia, dan bisa menikmati hidupnya dengan kekuatan yang terus
dipupuk dari masa kecilnya. Sungguh istimewa.
Komentar
Posting Komentar