Teman baru Biru


“Sebentar lagi, dia pasti lewat” gumam Biru sendirian.
Beberapa menit kemudian, seorang anak laki-laki yang postur tubuhnya tidak jauh berbeda dengan Biru, melewati depan rumahnya. Anak tersebut berjalan dengan cepat, sambil membawa rantang susun dua. Biru sudah memperhatikannya selama sepekan ini. Di siang bolong, pada jam yang sama, anak tersebut pasti akan lewat di depan rumahnya.
Rasa penasaran Biru tak terbendung lagi. Sosok anak sebaya dengannya itu mengusik hatinya. Biru heran, di siang terik, mestinya anak-anak ada di rumah untuk beristirahat. Orang tua Biru selalu mengingatkannya, bahwa di siang hari tidak boleh main keluar rumah. Siang hari, saatnya untuk istirahat setelah dari pagi beraktivitas di luar atau sekolah. Ketika sore menjelang, barulah diijinkan untuk main di luar rumah.
Akhirnya, setelah sepekan lebih sehari Biru memperhatikan anak tersebut, ia pun memberanikan diri untuk menyapanya. Siang itu, Biru sudah bersiap di dekat jendela. Saat anak tersebut lewat, ia akan menghampiri. Biru sudah menyiapkan berbagai macam pertanyaan untuk anak tersebut. Biru membayangkan, anak itu pasti akan terkejut dengan kehadirannya.
Tepat pukul 12.30, anak yang ditunggu Biru pun lewat. Biru bergegas keluar rumah dan menghampirinya.
“Hai!”, sapa Biru dengan ramah.
“Halo!”, jawab anak tersebut dengan cepat.
Ada senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Seorang anak sebaya dengan Biru, berkulit bersih, mata sedikit sipit, dan penampilannya rapi meskipun hanya memakai kaos. Sejenak Biru terhenyak, seakan mulutnya tak bisa berkata-kata. Anak itu pun menepuk pundak Biru.
“Kenapa kamu bengong begitu?”, tanyanya.
“Eh iya, eh anu, eh kok aku jadi bingung ya”, Biru pun gagap menanggapinya.
“Apa yang kamu inginkan, aku tidak punya banyak waktu, ibuku sudah menunggu”, anak tersebut menjelaskan dengan cepat.
“Oh, kamu mau kemana?”, tanya Biru.
Anak tersebut menjawab bahwa ia akan segera ke toko roti milik ibunya di dekat pasar. Ia harus membantu ibunya untuk bergantian menjaga toko karena ibunya butuh istirahat sebentar di siang hari. Jadi, ia harus segera pergi dari tempat itu supaya ibunya tidak menunggu terlalu lama.
Biru masih belum puas dengan percakapan singkat itu. Ia pun memberanikan diri untuk ijin mengantar anak tersebut ke toko ibunya. Anak itu mengangguk setuju. Secepat kilat, Biru pun meraih sepeda yang diparkir depan rumah, memberi aba-aba teman barunya untuk membonceng di belakang, dan Biru mengayuh sepedanya dengan sigap. Tak berapa lama, sampailah mereka di depan toko roti “Nikmat”. Teman Biru masuk ke toko, setengah berlari. Ia tidak ingin ibunya menunggu terlalu lama. Biru pun mengikuti langkah temannya, masuk ke dalam toko. Langkahnya  pelan, karena Biru perlu melihat keadaan dan suasana yang ada di toko tersebut. 
“Silakan dek, mau cari roti apa?”, suara lembut seorang ibu menyapanya.
Biru kaget. Ia tidak menyangka akan disapa oleh seseorang. Cepat, ia pun mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya ke ibu di depannya sambil badannya sedikit membungkuk. Ibu di depannya pun menerima uluran tangan Biru dengan sedikit heran. Siapa gerangan anak ini, pikirnya.
Teman Biru kemudian ikut bergabung bersama mereka dengan membawa roti favorit di toko tersebut. Ia pun menceritakan dengan singkat pertemuannya dengan Biru. Ibunya pun paham, lalu meninggalkan mereka berdua. Ibu teman Biru ingin melaksanakan sholat Dhuhur, makan siang, dan beristirahat sebentar setelah dari pagi menjaga toko sendirian.    
Biru dan temannya melanjutkan obrolan yang tertunda. Tanpa diminta, teman Biru pun menceritakan bahwa ayahnya sudah meninggal beberapa waktu lalu. Dulu saat ayahnya masih ada, toko roti “Nikmat” dikelola bersama oleh ayah ibunya. Teman Biru bisa asyik bermain, bahkan tidur siang tidak pernah terlewat. Namun, sejak ayahnya tiada karena sakit, ibunya sendirian mengelola toko tersebut. Hingga akhirnya, teman Biru memutuskan untuk menemani ibunya menjaga toko di siang hari setelah ia pulang sekolah. Awalnya, ibu teman Biru tidak tega jika anaknya ikut membantu menjaga toko, namun tekad sang anak tidak bisa dibendungnya. Hingga ibunya pun menyetujui anaknya ikut serta menjaga toko roti.
Biru terhenyak. Ia tidak menyangka, ternyata temannya sehebat itu. Di usia yang tidak jauh berbeda dengannya, ia sudah punya tekad untuk membantu ibunya menjaga toko. Padahal, anak seusia dia tentu masih senang-senangnya bermain, terkadang masih merengek ke orang tua untuk dibelikan mainan. Namun, teman Biru tidak seperti anak-anak yang lain. Ia harus bekerja untuk membantu ibunya, supaya toko roti mereka bisa tetap buka dan melayani para pelanggan.  

Komentar

  1. Haloo.. penggemar p0Ker
    I0nQQ*c0m - Komunitas 0nline terbesar di Indonesia, whatsapp +855 1537 3217
    Bisa dp via pulsa juga (min 25rb)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah Anak Berlatih Mengelola Keuangan?

Berkunjung ke Kantor Lurah Pejaten Timur

Merica dan Ketumbar

Kreasi botol bekas