BERWIRAUSAHA SOSIAL, MENGASAH EMPATI DAN MENTAL PENGUSAHA


Memiliki kemampuan menjalankan wirausaha sosial (sociopreneur), menjadi kebutuhan bagi anak-anak di masa depan. Ketrampilan ini mengasah dua hal sekaligus, yakni empati dan mental berwirausaha. Sociopreneur, tidak hanya menekankan pada titik menjalankan usaha atau bisnis secara optimal. Namun, sisi sosialnya pun memiliki peran besar. Seorang sociopreneur, harus berpikir dampak terhadap masyarakat dan lingkungan. Berwirausaha sosial berarti tidak memikirkan usaha untuk diri sendiri. Ada masyarakat dan lingkungan yang mesti diperhatikan oleh seorang wirausaha sosial.

Sociopreneur atau social-entrepreneur merupakan kegiatan berwirausaha berbasis bisnis namun dengan misi utamanya menciptakan social-impact yaitu meningkatkan harkat dan taraf hidup masyarakat kelas menengah ke bawah. Masyarakat kelas menengah bawah yang dimaksud oleh definisi tersebut biasanya telah ditentukan secara spesifik karakteristik atau populasinya. Definisi ini menggambarkan bahwa sociopreneur merupakan irisan antara entitas entrepreneur (usaha bisnis murni) dan lembaga sosial misalnya yayasan. Jika entrepreneur hanya berorientasi pada profit dan sebaliknya yayasan hanya berfokus pada mengelola dan mengalokasikan dana untuk kegiatan sosial (tanpa mengusahakan sumbernya dari mana), maka sociopreneur adalah kombinasi antara keduanya. Sociopreneur mengusung misi sosial namun tidak melupakan bagaimana dana yang diperlukan untuk kegiatan tersebut dapat terkumpul.

Jadi secara sederhana dapat dikatakan, sociopreneur  ini merupakan bentuk ideal dari kegiatan sosial. Mengapa ideal? Karena dengan konsep sociopreneur, masyarakat kelas bawah yang menjadi objek dan sasaran akan menjadi mandiri dan tidak bergantung dengan donasi satu arah seperti yang terjadi pada lembaga-lembaga sosial selama ini. Dengan kata lain, konsep sociopreneur analoginya yaitu sistem yang membangun ekosistem alami menjadi tempat hidup organisme sehingga organisme tersebut dapat hidup dengan mandiri atau berdikari (Inspirasi, Bernas.id).

Kemampuan berwirausaha sosial ini menjadi penting karena sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Ada orang lain yang selalu terikat hubungan. Begitupun ketika menjalankan usaha atau wirausaha. Tidak bisa dijalankan sendiri. Ada impact ke orang lain atau lingkungan yang harus dibahas dengan matang.

Supaya anak-anak bisa optimal berwirausaha sosial, orang tua perlu mempersiapkannya sesuai dengan  kebutuhan anak. Di usia awal, anak perlu dilatih kebiasaan-kebiasaan positif yang akan menjadi karakter positifnya. Kemudian, level tantangan untuk mengasah kebiasaan positif ini semakin meningkat, seiring dengan bertambahnya usia anak. Proses latihannya pun akan semakin beragam, untuk memperkaya wawasan dan gagasannya.

Tiga karakter positif yang perlu dioptimalkan adalah jiwa memimpin (leadership), tanggung jawab diri dan orang lain, serta empati. Pertama, jiwa memimpin. Karakter ini bisa dilatih dengan kebiasaan positif seperti diberi ruang untuk mengambil keputusan dalam menjalankan suatu aktivitas. Bisa juga dengan memberi ruang untuk memilih salah satu hal yang sesuai dengan diri anak, di antara berbagai macam pilihan yang beragam. Kedua, tanggung jawab diri dan orang lain. Anak dilatih untuk bisa mengenali diri dan kebutuhannya. Kemudian diberi ruang untuk memenuhinya sesuai dengan usia. Ketika sudah masuk usia akil baligh, anak mulai dilatih memikirkan orang lain. Memperhatikan dan mencari cara, bagaimana dirinya bisa bermanfaat bagi orang lain.  Ketiga, empati. Empati ini bisa dilatih dengan sering-sering bertemu dan beraktivitas dengan anak atau orang lain yang berbeda kondisi. Misalnya, bertemu dengan anak yatim, anak-anak difabel, anak yang sedang sakit parah, anak yang hidup di sekitar penampungan sampah, dan lain sebagainya.

Wikipedia.org menuliskan bahwa seorang jiwa wirausaha sosial (social entrepreneur) harus mempunyai kemampuan pengelolaan risiko (risk management) agar dapat menuntaskan apa yang menjadi idenya. Kemampuan mengelola risiko ini merupakan suatu hal yang penting, supaya dapat memastikan bahwa program yang ditawarkan berjalan secara berkelanjutan. Kemampuan ini bisa mulai dilatihkan pada anak dengan cara belajar memecahkan masalah. Mencari solusi atas tantangan yang dihadapi. Level tantangannya disesuaikan dengan usia. Semakin bertambah usia anak, maka tantangan untuk mencari jalan keluar dari suatu permasalahan pun semakin kompleks. Selain itu, anak-anak pun dilatih untuk selalu terlibat dalam aktivitas keluarga. Anak-anak dibiasakan untuk ikut andil dalam program keluarga, sehingga latihan-latihan ini mampu menjadi bekalnya saat memasuki fase berwirausaha sosial.

Saat ini, orang-orang yang menjalankan sociopreneur sudah mulai banyak. Ada yang muncul di Indonesia maupun di negara-negara tetangga. Para pelaku sociopreneur  ini bisa kita jadikan guru untuk belajar bersama anak. Belajar dari langkah mereka menjalankan wirausaha sosial sesuai dengan fokusnya masing-masing. Proses belajar dengan pelaku ini, jadi satu jalan supaya  anak memiliki gambaran siapa saja yang telah menjalankan wirausaha sosial dan seperti apa prosesnya. Anak punya bekal pengetahuan awal dan bisa memperdalamnya sewaktu-waktu.

Di Indonesia, kita bisa belajar dari Alfatih Timur. Berawal dari keinginan gotong royong yang memfasilitasi kebutuhan dana masyarakat untuk berobat maupun sebagai sarana beramal kepada yang terkena musibah. Timi bersama rekannya mendirikan kitabisa.com. Pendirian kitabisa.com sendiri terinspirasi saat dirinya melakukan riset terhadap situs-situs penggalangan dana yang ada di dunia, salah satunya crowdfunding.com. Di tahun 2017, kitabisa.com berhasil mengumpulkan donasi sebesar Rp 162,8 miliar. Di tahun 2016, ia pun dinobatkan sebagai salah satu 30 Under 30 Forbes Asia atas inovasinya tersebut (brilio.net)

Sedangkan di negara tetangga, bisa ambil pelajaran dari Dali dan Finn Schonfelder, founder Nalu Clothing. Dali adalah perempuan berusia 13 tahun dan adiknya Finn masih 11 tahun ketika mereka memulai bisnis Nalu. Mereka adalah sociopreneur muda yang sukses membantu anak-anak di India dan Sumba untuk mendapat akses pendidikan dengan memberikan seragam gratis. Setiap 4 produk Nalu Clothing yang terjual akan membantu 1 anak untuk mendapatkan seragam gratis guna membantu melanjutkan pendidikan. Nalu Clothing juga tersedia di Bali dan telah membantu ribuan anak-anak di India dan Indonesia untuk mendapat akses pendidikan yang lebih baik. Tidak hanya itu, Nalu Clothing juga sangat memperhatikan lingkungan kehidupan dengan membuat produknya dari bahan ramah lingkungan (idntimes.com).

Membaca pengalaman dan sepak terjang para sociopreneur ini, memperkaya wawasan dan gagasan anak. Mereka memperoleh input pengetahuan tentang wirausaha sosial yang bisa jadi acuan untuk bergerak. Pada saatnya anak-anak sudah mulai memunculkan ide dan berani mewujudkannya, orang tua memposisikan diri sebagai fasilitator. Berproses bersama anak hingga mimpi-mimpinya bisa terwujud.


Daftar pustaka :

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kewirausahaan_sosial diakses pada 9 November 2018 pukul 10.00 wib




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah Anak Berlatih Mengelola Keuangan?

Berkunjung ke Kantor Lurah Pejaten Timur

Merica dan Ketumbar

Kreasi botol bekas