MERANGKAI BAHASA KASIH


Komunikasi Produktif. Wow. Belajar lagi. Meski sudah bertahun-tahun melakukan aktivitas komunikasi, ternyata saya masih perlu berlatih lagi. Kenapa? Karena komunikasi yang selama ini saya lakukan, seringnya masih jauh dari kata 'produktif'. Komunikasi berjalan mengalir saja. Asal saya bicara dan ada yang menanggapi. Kadang saya kurang perhatian dengan isi pembicaraan, bahasa yang saya gunakan, dan kurang peduli dengan hal inti yang saya sampaikan. Saya jarang melakukan evaluasi cara berkomunikasi.
Saat ini, ketika masuk dan berkutat dengan Komunikasi Produktif di Kelas Bunda Sayang, saya jadi semakin tersadar. Oh ternyata, apa yang selama ini saya lakukan belum optimal. Saya pun diajak untuk belajar lagi, berlatih lagi. Supaya komunikasi yang saya lakukan kemudian menjadi lebih bermakna. Hal-hal yang saya sampaikan itu tidak sekedar keluar dari mulut saja, namun memiliki bobot yang jelas tujuannya, karena sayalah yang bertanggung jawab atas apa yang saya sampaikan.

Bahasa Kasih Diri
Dulu, saya termasuk dalam kategori orang yang kurang percaya dengan potensi sendiri. Sering baper, mudah tersinggung, cepat berurai air mata hanya karena urusan sepele. Merasa bahwa saya ini merana sendirian. Teman dan saudara seakan melesat begitu cepat, dan saya masih berdiri di tempat sendirian. Pikiran-pikiran negatif kemudian menguasai kepala saya. Perasaan tidak berdaya, kurang berguna menyelimuti hati saya. Itu sangat mempengaruhi cara saya berbicara dengan orang lain, terutama suami dan anak-anak sebagai lingkungan terdekat. Kalau sudah tersinggung, lalu diam seribu bahasa. Terkadang ditambah bumbu menangis sesenggukan. Jika ditanya alasan menangis, saya menggeleng dan bilang tidak ada apa-apa. Padahal, isi hati saya berkecamuk. Lama kelamaan, rasanya lelah juga melalui masa-masa itu. Urusan jadi terbengkalai, hati dan pikiran kurang ‘fresh’ dan badan sering terasa pegal. Kemudian, saya berpikir untuk berubah. Mencoba sedikit demi sedikit untuk membuka diri. Membuka hati dan pikiran untuk menerima banyak pengetahuan dan pandangan orang lain. 
Sekarang, saya mulai paham kata kuncinya. Energi Positif atau disingkat dengan Epos. Energi positif ini dimunculkan dari dalam diri sendiri. Saya terus berlatih untuk mengoptimalkan energi ini. Ketika dalam kenyataan, stok Epos saya mulai menipis, maka saya perlu jeda untuk mengisi kembali baterai Epos saya sampai penuh.
Seperti apa caranya?
    1. Menenangkan pikiran dan hati dari hal-hal yang berkecamuk
    2. Berdialog dengan diri saya sendiri
    3. Curhat sama Allah
    4. Menulis kata ‘Aku ikhlas… Aku rela…’ dan dipajang di tempat yang mudah saya jangkau
Cara-cara di atas, sampai saat ini masih terus saya lakukan berulang-ulang untuk menjaga energi positif saya tetap stabil.
  
Bahasa Kasih Suami Istri
Dulu, ketika berkomunikasi dengan suami, saya cenderung tidak banyak mengatakan hal-hal yang sesungguhnya. Ada hal yang sengaja saya simpan, berharap suami paham dengan sendirinya. Saya kadang-kadang bisa mendadak diam dan menghindar dari pembicaraan tanpa mengemukakan alasan yang jelas. Itu pasti membuat bingung suami. Jika ada hal yang saya kurang setuju, tidak langsung mengungkapkan, namun dipendam sendiri hingga rasanya ingin meledak.
Nah sekarang, saya mulai bisa mengendalikan diri sendiri dan menerapkan strategi ketika berkomunikasi dengan suami. Strategi ini hasil racikan saya dan suami.
Berikut strategi saya berkomunikasi dengan suami :
1. Suami sedang gadget ria/membaca, istri jangan mengajak bicara.
2. Suami sedang fokus pada aktivitasnya, tidak boleh banyak diajak berbincang.
3. Ajak bicara suami saat lega waktu dan aktivitas.
4. Ambil fokus/ konsentrasi suami dengan kata-kata simpel dan menarik (seperti headline
     di sebuah tulisan/ surat kabar).
5. Sesuaikan dengan 'bahasa kasih' suami.
Strategi ini saya racik dari hasil pengalaman pribadi, informasi dan masukan dari suami tercinta.
  
Bahasa Kasih Anak
Dulu, ketika saya menemani tumbuh kembang anak-anak, saya sering melakukan komunikasi dengan bahasa menyuruh dan mengatur. Alasannya, semua hal jadi cepat selesai dan tidak repot. Saya sudah atur semua, anak-anak tinggal menjalankan saja. Saya pun lebih mudah, karena tinggal menyuruh anak-anak melakukan hal yang sudah saya siapkan. Namun, ternyata proses seperti itu tidak berlangsung lama. Semakin bertambah usia, anak-anak mulai punya inisiatif sendiri. Mereka mulai mencoba eksperimen-eksperimen. Saya mulai tidak bisa menggunakan bahasa menyuruh. Saya pun lama kelamaan kewalahan mengatur mereka. Pelajaran berharga bagi saya dan sebagai bahan evaluasi diri. Lalu saya pun mencari cara lain ketika berkomunikasi dengan anak-anak.
Hasil evaluasi itu menjadi pelajaran bagi saya untuk mengubah pendekatan terhadap anak-anak. Saya mulai menerapkan cara, menawarkan pilihan berikut konsekuensinya. Ketika anak-anak ditawarkan pilihan-pilihan, maka mereka pun paham konsekuensi. Jadi ketika sudah memutuskan pilihan, berarti konsekuensinya pun mengikuti. Lalu, saya mulai banyak-banyak mendengar. Apa yang mereka rasakan, keinginan, kebutuhan, harapan anak-anak terus saya tampung dan sedikit demi sedikit mulai direalisasikan bersama-sama. Mereka bergerak karena pilihan dan sesuai kebutuhannya. Saya pun banyak melakukan kontak fisik dengan anak-anak, misalnya memeluk, memberi ciuman sayang, menatap mata saat berbicara dan duduk berdekatan.  Kontak fisik ini sangat mempengaruhi produktifnya komunikasi saya ke anak-anak. Kondisi mereka menjadi lebih tenang dan nyaman, sehingga pembicaraan pun jadi lebih tepat sasaran. Anak-anak lebih cepat menangkap dan memahami maksud pembicaraan saya ketika kondisinya rileks.

Bahasa Kasih Fasilitator
Belajar Komunikasi Produktif di Kelas Bunda Sayang IIP ini, saya masuk dalam program learning by teaching. Teman-teman yang masuk dalam program ini berarti selain belajar langsung dengan Ibu Septi (founder IIP), juga berperan sebagai Fasilitator di Kelas Bunda Sayang untuk member komunitas yang telah lulus Kelas Matrikulasi. Saya dan teman fasilitator, menjalani dua proses beriringan; mengikuti materi dan diskusi di Kelas Fasilitator, kemudian memandu dan menemani teman-teman member belajar di kelas masing-masing. Proses ini butuh banyak perjuangan, mengingat posisi fasilitator cukup menguras energi. Beruntung, di setiap kelas member, fasilitator yang bertugas bentuknya tim, jadi tidak sendirian. 
Nah, di sini pun saya perlu menggunakan bahasa kasih, saat berkomunikasi dengan partner fasilitator maupun member di kelas. Bersama partner fasilitator, saya membahas poin-poin penting selama kelas berlangsung . Fasilitator terus memastikan bahwa materi dan diskusi dapat dipahami oleh member di kelas. Memantau secara berkala, dinamika yang terjadi di kelas. Kepada member, saya menggunakan bahasa bertanya dan mengajak. Kalimat bertanya, akan memunculkan banyak uraian-uraian yang bisa diambil pemahamannya. Sedangkan dengan kalimat mengajak, member akan merasa ditemani berproses bersama. Mereka tidak merasa ditinggalkan, sehingga semangat untuk terus berlatih tetap terjaga.


#aliranrasa
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah Anak Berlatih Mengelola Keuangan?

Berkunjung ke Kantor Lurah Pejaten Timur

Merica dan Ketumbar

Kreasi botol bekas