Galaunya seorang ibu

Suatu sore Ibu Caca bercerita tentang anak perempuannya. Masuk usia empat tahun, belum bisa membaca dan menulis. Berbicara pun belum begitu jelas. Ibu Caca khawatir, anak perempuannya mengalami keterlambatan perkembangan. Anak tersebut lancar berjalan di usia dua tahun lebih. Menurut Ibu Caca, saat kecil anak perempuannya memang sempat sakit dan berobat beberapa waktu lamanya. Namun saat ini sudah sembuh. Ibu Caca pun bercerita kalau anak perempuannya ini tidak mau belajar membaca dan menulis di rumah ditemani ibunya.

Ibu Caca pun mengungkapkan kegalauannya dengan wajah penuh kekhawatiran. Apalagi ketika melihat anak-anak seusia yang ada di lingkungan tempat tinggalnya, banyak yang sudah mulai bisa membaca dan menulis. Rasa malu, marah, jengkel dan merasa bersalah menjadi satu. Kekhawatiran itu semakin bertambah hari ke hari.

Saya pun mencoba bertanya dengan hati-hati, bagaimana cara Ibu Caca mendekati anak perempuannya, bagaimana cara mengajak anaknya untuk berlatih menulis ataupun membaca. Ibu Caca pun menjawab, jika satu dua kali anaknya tidak menanggapi dan tidak mau diajak belajar, Ibu Caca akan merasa kesal dan jengkel. Jika sudah jengkel, maka nada marahlah yang keluar dari mulut ibu.

Sedih saya mendengarnya. Saya pun belum bisa seratus persen praktek tidak marah pada anak-anak. Namun, setidaknya saya terus belajar untuk mengurangi marah-marah terhadap anak. Ketika ada ibu lain yang marah terhadap anaknya, itu menjadi alarm keras buat saya pribadi. Pengingat yang terus terngiang-ngiang di telinga.

Ketika Ibu Caca bertukar pikiran dengan saya dan mencurahkan segala gundah gulananya, anak perempuannya pun mendekati. Anak ini bergelayut manja di pangkuan Ibu Caca, kemudian memeluk dan mendaratkan ciuman sayang kepada ibunya. Trenyuh hati saya melihatnya. Ketika sang ibu sedang sibuk memikirkan perkembangan anaknya yang seakan tidak terlihat kemajuannya dan seperti tertinggal oleh teman-temannya, saat itu pula sang anak dengan tulus mencurahkan kasih sayangnya, seakan anak ini berkata “ Tak usah bersedih Bunda, aku paham yang Bunda pikirkan dan aku sangat sayang padamu”.

Saya pun tertegun melihatnya. Melihat ketulusan dari pancaran mata anak perempuan Ibu Caca. Merasakan kasih sayang dari pelukan anak ke ibunya. Memperhatikan senyum manis sang anak yang begitu indah. Wajahnya yang begitu polos menyiratkan kebersihan dan kebeningan hatinya. Namun, kenapa sang ibu diliputi banyak kekhawatiran?

Saya pun tersadar kemudian. Mencoba mengumpulkan energi kembali. Perlahan saya coba bicara bahwa anak memiliki keunikannya masing-masing. Perkembangan anak pun tidak dapat disamaratakan satu dengan yang lainnya. Jika saat ini anak perempuannya belum mampu mengikuti perkembangan layaknya anak tetangga, bukan berarti anak tersebut tertinggal. Masih ada banyak hal lain yang bisa digali dari ciri khas anak tersebut.

Ketika Ibu Caca khawatir anaknya belum bisa membaca dan menulis, ternyata sang anak bisa begitu tulus mencintai ibunya. Bisa memberikan kasih sayang seorang anak dengan sepenuh hati. Mempersembahkan senyum cantiknya untuk ibunda. Tidak peduli dia belum bisa membaca atau menulis.

Ibu Caca pun mulai menitikkan air mata. Haru menyelimutinya. Ibu Caca mencoba menata hatinya dan beritikad untuk bisa menemani anak perempuannya mengikuti ritme belajarnya. Mencoba untuk mengurangi emosi-emosi negatif yang kerap kali mengiringi. Mencoba menata kembali harapan-harapan indah yang seakan lenyap.



#ODOPfor99days
#day51




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah Anak Berlatih Mengelola Keuangan?

Merica dan Ketumbar

Bangkit dari rasa bersalah

Manusia dicipta